Share, Discussion and Science

Ketika Cinta Tak Harus Memiliki


Aku masih berjalan di sepanjang pinggiran jalan kota ini. Udara malam terus berbisik lirih mengiringi langkahku yang masih tertatih dan tidak tahu harus kemana. Senyum-senyum tipisnya masih bergelayut di dalam pikiranku. Senyum yang terkadang datang dan pergi. Selalu begitu. Suara kendaraan di jalanan sayup-sayup mulai hilang. Malam semakin larut. Waktu telah menunjukkan jam 11 malam. Aku masih tak tahu harus kemana melangkahkan kaki ini. Beberapa jam yang lalu aku baru saja mengirimkan berkas-berkas surat kebutuhan pekerjaan. Hal yang menjadi fokusku selama ini. Namun, tak dipungkiri ada sesuatu yang berkata lain di hati ini. Seperti sebuah panggilan, mungkin ini jawaban dari doa di sepertiga malamku. Pada awalnya, memang sulit untuk melakukan ini semua. Entah kenapa. Tetapi seperti itulah yang aku rasakan.


Kurang lebih, 3 tahun yang lalu aku merasakan bunga-bunga itu bermekaran di dalam jiwaku. Namun terkadang wanginya hilang, dan terkadang datang lagi. Aku mencoba mengabaikannya, tetapi memang tidak semudah itu. Ia terus hadir di dalam mimpi-mimpiku, lamunanku dan renunganku. Ah, sebenarnya aku tak menyukai keadaan ini. Tapi itulah yang terjadi teman. Kalian harus tahu semua ini.

‘’Bu, sepertinya aku harus berangkat ke sana.” Kata ku pada ibu.
‘’Ya sudah, rencananya kapan mau ke sana?. Tanya ibu.
‘’Secepatnya bu, aku ingin menemuinya.” Jawabku sedikit jujur pada ibu.
‘’Nisa?memang dia masih di sana’’ Tanya ibu lagi.
‘’Iya bu, dia pulang ke bogor tanggal 6 bulan ini.’’ Jawabku lagi.

Dialah Nisa, wanita yang selalu hadir dalam benakku selama ini. Seorang gadis biasa yang telah lama aku kenal dan sudah ku anggap seperti adikku sendiri. Namun, entah mengapa bunga-bunga itu hadir di antara kami. Aneh memang, tetapi itulah yang terjadi dan tak bisa di pungkiri.

Beberapa hari yang lalu ia mengatakan bahwa ia sangat ingin bertemu denganku. Aku pun menjadi merasakan hal yang demikian. Wanita memang pandai mengendalikan perasaannya. Begitu ia mulai dilupakan, ia hadir lagi dengan bunga-bunga itu. 

Tanpa pikir panjang, aku pun mulai bersiap-siap untuk berangkat ke kota itu. Mulai dari pakaian, tekad dan uang yang pas-pasan. Asal kalian tahu, uang saja aku pinjam pada ayah. Menyedihkan bukan, tapi inilah bagian kecil dari pengorbanan, aku tak ingin kehilangannya lebih jauh. Inilah tekadku saat ini. 

Tepat 2 hari setelah pembicaraanku dengan ibu, malam itu akhirnya aku mendapatkan bis menuju ke kota itu. Bisnya lumayan bagus, ber AC, dan berisi orang-orang dari berbagai latar belakang. Aku masih terdiam dan mencoba menegur orang yang duduk di sampingku ketika hendak duduk di kursi yang sedikit ke belakang bis itu. Aku masih merenung, penuh kegelisahan juga penuh tekad. Ah, seandainya saja aku tak merasakan perasaan itu, mungkin aku tak begini. Hijrah karena seorang wanita, bodoh memang, nabi pun tak menganjurkannya, gumamku dalam hati.

Bis berderu kencang. Lampu-lampu jalanan menyinari bus melalui jendela-jendela yang sedikit kusam itu. Sinarnya halus, menyiratkan sebuah cerita, yang tak pernah usai. Aku masih terus memandangi lampu-lampu itu dari kaca bus itu. Aku masih bertanya-tanya, apakah masih ada tempat dihatinya untuk diriku. Apakah masih ada kesempatan untukku. Malam itu kegelisahan selalu menyelimuti diriku dan merenung, apakah yang kulakukan ini hal yang salah. Ah, itu nanti, yang jelas aku hanya ingin dia tahu. 

Akhirnya aku sampai di pinggiran kota itu. Aku pun membawa tas ranselku ke sebuah simpang yang penuh dengan angkutan kota. Aku menuju ke sebuah angkutan kota tersebut. Aku menaikinya dengan pikiran yang terus berjalan di bawah bayang-bayangnya. Mobil angkot itu terus melaju membawaku ke sebuah simpang dimana aku akan berhenti. Dan aku berhenti di sana. Aku menghubungi seorang teman baikku untuk menjemputku di sana. Beberapa menit kemudian ia datang. Ia tersenyum, aku pun menaiki sepeda motornya. Ia membawaku ke rumahnya. Dia lah ferdi, temanku sewaktu SMA dulu. Aku dan dia bersekolah di salah satu SMA negeri di kota ini. Kebersamaan membawa kami pada persahabatan yang sangat erat, bahkan keluarganya sangat mengenaliku. Dan akhirnya kami tiba di rumahnya dan kami pun mulai berbincang di ruang tamu rumahnya itu.

‘’Apa rencanamu datang ke sini, Dan? Tanyanya.

Aku menarik nafas dalam dan mencoba menjawabnya.

‘’Maksudku datang ke sini hanyalah karena sebuah tujuan, yaitu untuk mengatakan sesuatu hal yang penting pada seorang wanita.’’ Kataku Ringan.

Dia terkekeh. Dan berkata,

‘’Seorang Dani yang selama ini nggak memperdulikan wanita, tiba-tiba datang untuk seorang wanita, bener aja kamu Dan, emang siapa sih wanita itu?,’’ Ia bertanya dengan mimik yang serius.

Aku terdiam sejenak. Sulit rasanya untuk mengatakan tentang semua ini. Hal yang aneh memang. Tapi dia sahabatku, harus tahu. Dan akupun menjelaskan tentang semua yang telah terjadi. Dia menanggapi dengan sedikit geram.

‘’Hei Dan, kamu tuh harusnya ngerti perasaan wanita dong, selama itu kamu biarkan perasaannya tergantung, walaupun kamu sudah mengganggapnya adik, tapi itulah cinta Dan, 3 tahun bukan waktu yang sebentar Dan!,’’ Ia mencoba memberitahuku.

Aku masih terdiam. Tak mungkin aku membela diri, semua ini memang salahku.

‘’Sudahlah, hubungi dia, bertemulah dengannya dan katakan yang sebenarnya.’’ Ia memberitahuku dan kembali ke layar komputernya seraya kembali mengerjakan tugas-tugas kantornya.

Setelah pembicaraanku dengan Ferdi, aku mulai membayangkan wajahnya lagi, apakah aku memang sudah terlambat, tetapi aku pikir lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali. Aku memang harus melakukannya.

Malam itu, tepat pukul 19.00, aku berada disebuah taman dekat perumahan dimana Nisa tinggal. Aku berjanji menunggunya di sana. Dan setelah 15 menit berlalu, akhirnya ia datang dan duduk dikursi panjang dimana aku duduk serta menyandarkan tubuhnya. Aku duduk sedikit berjarak dengannya. Sesekali aku memandanginya dan menatap matanya dibalik jilbab kuningnya. Aku terus bergolak, bertanya-tanya dalam diri. Senyum tipisnya menghampiriku. Tanda bahagia karena kedatanganku. Aku pun menyambut senyuman itu. Senyuman yang selalu aku rindukan. 

Malam itu dipenuhi oleh bintang-bintang dan juga bulan yang seolah-olah sedari tadi memandangi kami tanpa kenal lelah. 

“ Maaf, jika menunggu terlalu lama” Tiba-tiba ia berkata kepadaku.
“ Iya, nggak apa-apa’’ Jawabku.
‘’Mas kapan datang?’’ Tanyanya.
‘’Kemarin Nisa, aku datang buat kamu’’ Jawabku
‘’Apa??’’tanyanya sedikit terkejut. Mungkin karena selama ini aku tak pernah memperlihatkan sisi lainku.
‘’Iya, aku datang ke sini karna ada yang harus ku bicarakan padamu’’ Jawabku ringan sembari terus memandanginya.
“Tentang apa?’’ Tanyanya lagi seolah tidak di prediksikan olehnya.
‘’Mas sayang kamu, Nisa’’ Kataku dalam.

Suasana semakin hening. Angin malam mulai bersautan mengirimkan irama malam yang penuh cerita. Bulan dan bintang terus saja memata-matai kami seolah ingin menyimak dari awal hingga akhir. Aku selalu berusaha menyusun kata-kata dengan teguh.

‘’Kenapa Mas baru bilang sekarang?’’ Tanyanya sedikit kecewa.
‘’Hmm..maafin Mas, karena baru bisa mengatakannya sekarang’’ Jawabku pelan.
“Kenapa Mas baru ngomong sekarang, aku sudah menunggu lama Mas, aku hampir jenuh, dan Mas juga harus tahu,,’’Jawabnya dengan nada kecewa.
‘’Apa??’’ Tanyaku sedikit penasaran.
“Mas mengatakan semua ini ketika aku sudah dimiliki oleh orang lain, Mas sudah didahului..’’ Jawabnya pasrah.

Aku langsung terdiam. Aku merasa ini semua resiko dari apa yang ku lakukan ini. Semua terasa berbeda, seolah-olah cahaya-cahaya itu semakin redup dan akhirnya menghilang.

‘’Jujur Mas, aku juga merasakan hal yang sama seperti yang Mas rasakan, rasa itu masih ada, tapi..’’ Kata-katanya tidak diteruskan. Ia sedikit menunduk, sedikit menahan tangisnya dan aku tahu itu.

‘’Baiklah Nis, aku paham, mungkin aku terlambat dan tidak mungkin bagiku untuk menuntut lebih banyak darimu. Ini semua salahku. Maafkan aku.’’ Kataku seraya terus memandanginya.

Ia lalu berdiri. Sedikit menahan wajah kecewa dan juga bingung terhadap apa yang harus ia lakukan. Lalu ia pergi dan menghilang menjauh ditelan gelapnya malam. Aku masih terdiam disitu. Aku tak mengerti apa arti diamku. Mungkin Tuhan tidak menciptakan kami untuk bersama. Padahal, selama ini aku membayangkan jika aku selalu berada di sampingnya, membahagiakannya. Tetapi semua itu hanyalah mimpi. Dari semua ini, aku semakin paham, bahwa memang benar, cinta itu tak harus selalu saling memiliki.

Beberapa hari setelah malam itu. Aku memutuskan kembali ke kotaku. Aku paham, bahwa mungkin inilah yang terbaik dari kisah dilematis selama ini. Aku berharap dia akan menemukan yang terbaik.

Aku kembali merenung di sepanjang perjalanan malam itu. Semua terasa mengalir begitu saja.  Bus berderu kencang. Lampu-lampu jalanan menyinari bus melalui jendela-jendela yang sedikit kusam itu. Sinarnya halus, menyiratkan sebuah cerita, yang tak pernah usai. Aku masih terus memandangi lampu-lampu itu dari kaca bus itu. Aku terdiam dan terus terdiam. Kehidupan ini akan terus berlanjut, dengan atau tanpanya.

Pekanbaru, 16/09/2011, 17:50, di antara hujan.













0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan Komentar Untuk Artikel ini..Dengan ini, kita bisa sharing dan diskusi..Syukran